Konflik merupakan sesuatu yang buruk dan menyakitkan sehingga terkadang anda menghindarinya. Tetapi keharmonisan dan ketenangan dalam rumahtangga cenderung mengarahkan pasangan menjadi kurang berkembang. Memang sedikit sulit dipercaya saat mendengar ada pasangan tidak pernah berkonflik sama sekali. Dalam kenyataan mereka adalah dua individu yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan yang berbeda dalam jumlah besar. Hal ini menandakan bahwa sewaktu-waktu mereka bisa tidak sejalan atau berlawanan arah dalam memuaskan kepentingannya.
Sewajarnya bila konflik merupakan salah satu ciri kehidupan dalam rumah tangga dan kemampuan menghadapi konflik dijadikan persyaratan mutlak setiap individu yang melibatkan diri dalam sebuah perkawinan. Sebenarnya konflik merupakan bunga dari sebuah pernikahan. Karena tanpa konflik sebuah pernikahan hanyalah khayalan semu. Tapi tidak sedikit pasangan suami istri terpaksa berpisah karena konflik.
Konflik suami istri bisa tampil dalam berbagai reaksi perilaku seperti pertengkaran-pertengkaran kecil, perdebatan, saling tidak tegur. Setelah itu berpisah ranjang, perkelahian seru, menghilang dan meninggalkan rumah, hingga bisa mengarah kepada perceraian.
Secara emosional, berkonflik dengan orang yang paling dekat dan paling anda sayangi adalah suatu keadaan yang sangat tidak menyenangkan. Apalagi kalau masalahnya tidak dapat terselesaikan. Tidak heran bila orang menjadi takut untuk berkonflik dan berusaha sedapat mungkin menghindarinya. Padahal konflik selalu akan terjadi bila dua orang yang memiliki kepentingan masing-masing, salah satu pihak memiliki anggapan bahwa pihak yang lain akan merugikan dirinya.
Kondisi potensial konflik. Setiap orang ada kondisi-kondisi tertentu yang dapat dianggap sebagai sumber atau penyebab munculnya konflik. Demikian pula dalam kehidupan suami istri, secara potensial sumber tersebut berada pada beberapa faktor.
Komunikasi. Salah satu hal yang sampai saat ini diyakini sebagai penyebab utama konflik adalah komunikasi yang buruk. Hal ini bisa berupa verbalisasi yang tidak jelas, cara bicara yang menyakitkan, penggunaan kata-kata yang kurang baik, ekspresi wajah tidak menyenangkan, nada suara yang merendahkan atau melecehkan pihak lain dan sebagainya. Ketidakmampuan salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam berkomunikasi bisa menyebabkan konflik yang cukup serius. Selain itu telah dibuktikan bahwa rendahnya frekuensi atau terlalu banyak komunikasi juga merupakan salah satu penyebab konflik.
Pembagian peran. Dari sejak awal pernikahan, biasanya setiap pasangan suami istri melakukan pembagian peran dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam pernikahannya. Pembagian peran bisa sangat jelas, dibagi berdasarkan peran jenis kelamin atau berdasarkan kemampuan dan keterampilan masing-masing. Mereka telah sepakat untuk menjalankan tanggungjawabnya. Tetapi dalam perjalannya akan terjadi perubahan dan salah satu pihak akan merasa mendapat beban tanggungjawab lebih besar, selagi yang lain dilihat kurang bertanggungjawab.
Pembagian peran berdasarkan spesialisasi atau peran jenis kelamin seperti merawat, membesarkan anak, memasak dan urusan rumahtangga seringkali dirasakan semakin berat daripada tugas lain yang tidak menuntut rutinitas. Perasaan terbebani dan diperlakukan tidak adil bisa menjadi sumber konflik yang berkepanjangan bila tidak pernah diselesaikan.
Perbedaan individual. Potensi sumber konflik terbesar adalah perbedaan individu suami istri, terutama yang bersumber pada sistem nilai dan ciri kepribadian masing-masing suami istri dengan nilai-nilai yang berbeda. Apalagi bertentangan akan sangat mudah berkonflik dalam mengambil keputusan.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa orang-orang dengan tipe kepribadian tertentu seperti sikap ingin menang sendiri, sulit mengubah pendapat, kurang percaya diri, merasa lebih berhak dari orang lain, penuh kecurigaan, tidak pernah puas dan semacamnya akan lebih sering menjadi sumber konflik dalam pernikahan.
Untuk menyikapinya. Jika potensi untuk berkonflik ada pada setiap orang dan konflik selalu bisa terjadi sewaktu-waktu. Ada pandangan yang membedakan manfaat dari konflik dalam pernikahan yaitu cara pandang tradisional dan cara pandang non-tradisional.
Pandangan tradisional berkembang dari sebuah asumsi bahwa konflik adalah sesuatu yang buruk, menyakitkan sehingga harus dihindarkan. Sebagai rangkaian tingkah laku, konflik dipandang negatif dan seringkali artinya sama dengan pertentangan, keributan dan kekerasan.
Mereka yang memiliki cara pandang ini menghargai hubungan manis suami istri yang tidak ditandai oleh adanya konflik. Dalam nasihat dan saran-saran yang diberikan kepada pasangan baru, para istri diingatkan untuk bisa menjaga ketenteraman rumahtangga. Pandangan tradisional juga menempatkan istri sebagai pihak yang harus mengalah, patuh dan melayani suami. Nilai-nilai tradisional ini membawa istri kepada keadaan dimana dia akan lebih banyak menerima, mengalah atau berkorban untuk kompromi.
Adapun cara padang non-tradisional didasari oleh pemikiran bahwa konflik antara suami istri adalah manusiawi dan harus diterima sebagai kenyataan. Pandangan non-tradisional bahkan menekankan bahwa keharmonisan, kedamaian dan ketenangan dalam rumahtangga cenderung mengarahkan individu suami istri menjadi statis, mandeg, apatis atau kurang tergerak untuk maju serta berkembang.
Dengan adanya dua pandangan tersebut setiap pasangan suami istri dapat menetapkan apa yang akan menjadi tujuan dari bahtera rumahtangganya. Apakah pelayaran yang tenang di atas air tanpa riak gelombang atau berani menempuh badai di luas samudra? Tentu saja jawabannya tergantung pada dua pribadi yang menjalani kehidupan itu. Karena disamping adanya pilihan untuk tetap statis atau bergerak dinamis, setiap pasangan perlu mempertimbangkan apakah konflik yang berkembang perlu dihadapi atau dihindarkan.
Ada konflik yang memberikan manfaat bagi kedua pihak tapi ada juga jenis konflik tertentu yang sama sekali tidak bermanfaat. Macam konflik yang dalam proses penyelesaiannya dapat memberikan kejelasan mengenai kepentingan masing-masing pihak dan membuka kesempatan lebih mengerti, menemukan jalan keluar bersama, merupakan konflik yang bermanfaat serta perlu dihadapi. Tapi bila pertentangan tersebut menyangkut hal yang akan membuat salah satu atau kedua pihak merasa terhina, tertekan atau kehilangan harga diri maka konflik tersebut harus dihindari. Jadi semua tergantung bagaimana anda menyikapi pertengkaran tersebut, jangan pernah menyelesaikannya secara emosional karena tidak akan terselesaikan dengan baik.
Sabtu, Oktober 02, 2010
Konflik yang mendewasakan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar